Thursday 20 October 2011

Makalah Alur Sejarah Masyarakat Madani


ALUR SEJARAH MASYARAKAT MADANI
BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Wacana tentang Masyarakat Madani memiliki banyak kesamaan istilah namun juga memiliki karakter dan peran yang berbeda satu dengan yang lainnya. Ada yang menyebutkan dengan istilah civil society, Koinonia Politike, Comonitas Civilis, Masyarakat Sipil, Masyarakat Warga, Masyarakat Kewargaan, Masyarakat Madani, dan masih banyak lagi yang menyebutkan dengan istilah lain.
Masyarakat Madani menurut Anwar Ibrahim (Perdana Menteri Malaysia) merupakan padanan dari
kata civil society yang dikaitkan dengan konsep kota Illahi atau masyarakat kota yang telah tersentuh peradaban maju.1(Pendidikan Pancasila Yuridis Kenegaraan, Kaelan, Yogyakarta: Pardigma, hlm.202)Lebih lengkapnya, menurut Anwar Ibrahim, Masyarakat Madani adalah sistem sosial yang subur berdasarkan prinsip moral yang menjamin keseimbangan antara kebebasan individu dengan kestabilan masyaaarakat.
Konsep tentang Masyarakat Madani berhubungan dengan tingkah laku sosial dan politik. Namun, sebelum membahas wacana Masyarakat Madani secara keseluruhan, kita sebaiknya lebih dahulu mengetahui dan memahami alur sejarah munculnya istilah Masyarakat Madani.
Alur Sejarah Masyarakat Madani itu sendiri dibagi menjadi dua. Pertama, sejarah kemunculannya di dunia Barat. Yang kedua, sejarah yang berada di Indonesia sebagai salah satu negara berkembang.

B.       Rumusan Masalah
1.         Bagaimana alur sejarah munculnya Masyarakat Madani di dunia Barat yang terbagi dalam beberapa fase?
2.         Bagaimana alur sejarah Masyarakat Madani di Indonesia?

BAB II
PEMBAHASAN
A.      Sejarah Masyarakat Madani (Civil Society) di dunia Barat.
1.         Fase Pertama
1.1.  Aristoteles (Yunani, 384-322 SM)
Menurutnya, Civil Society berkedudukan sebagai sistem kenegaraan atau identik dengan negara itu sendiri. Hal tersebut diistilahkan dengan Koinonia Politike, yaitu sebuah komunitas politik tempat warga dapat terlibat langsung dalam berbagai percaturan ekonomi-politik dan pengambilan  keputusan.2(Abdul Rozak, dkk, Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani,2000,hlm.306) Istilah itu digunakan untuk menggambarkan sebuah masyarakat politis dan etis dimana warga negara di dalamnya berkedudukan sama di depan hukum. Hukum sendiri dianggap etos, yaitu seperangkat nilai yang disepakati tidak hanya berkaitan dengan prosedur politik, tetapi juga sebagai substansi dasar kebijakan dari berbagai bentuk interaksi di antara warga negara.
1.2.  Marcus Tullius Cicero (106-43 SM)
Marcus Tullius Cicero menamakan Masyarakat Madani dengan Societies Civilies, yaitu sebuah komunitas yang mendominasi komunitas yang lain. Istilah tersebut lebih menekankan pada konsep negara kota (city-state), yakni menggambarkan kerajaan, kota, dan bentuk korporasi lainnya sebagai kesatuan yang terorganisasi. Kota dalam pengertian itu bukan hanya sekedar sebuah konsentrasi penduduk tetapi sebagai pusat kebudayaan dan pusat pemerintahan.
1.3.  Thomas Hobbes (1588-1679 M)
Menurut Hobbes, sebagai entitas negara, civil society mempunyai peran untuk meredam konflik dalam masyarakat sehingga ia harus memiliki kekuasaan mutlak yang nantinya akan mampu mengontrol dan mengawasi secara ketat pola-pola interaksi (perilaku politik) setiap warga negara.
1.4.  John Locke (1632-1704 M)
Menurutnya, kehadiran civil society adalah untuk melindungi kebebasan dan hak milik setiap warga negara. Mengingat sifatnya yang demikian itu, civil society tidak absolut dan harus membatasi perannya pada wilayah yang tidak bisa dikelola masyarakat dan memberikan ruang yang manusiawi bagi warga negara untuk memperoleh haknya secara adil dan proporsional.
2.      Fase Kedua
Adam Ferguson (Skotlandia, 1767)
Ferguson mengembangkan wacana civil society dengan konteks sosial dan politik di negaranya. Ferguson lebih menekankan visi etis pada civil society dalam kehidupan sosial. Menurutnya, ketimpangan sosial akibat kapitalisme harus dihilangkan. Ia yakin bahwa publik secara alamiah memiliki semangat solidaritas sosial dan sentimen moral yang dapat menghalangi munculnya kembali despotisme.
3.    Fase Ketiga
Thomas Paine (1792)
Ia mulai memaknai civil society sebagai sesuatu yang berlawanan dengan lembaga negara. Peran negara sudah saatnya dibatasi. Menurut pandangan ini, negara tidak lain hanyalah keniscayaan buruk belaka. Konsep negara yang absah adalah perwujudan dari delegasi kekuasaan yang diberikan oleh masyarakat demi terciptanya kesejahteraan bersama. Semakin sempurna suatu masyarakat sipil, maka semakin besar pula peluangnya untuk mengatur kehidupan warganya sendiri.
Menurutnya, terdapat batas-batas wilayah otonom masyarakat sehingga negara tidak diperkenankan memasuki wilayah sipil. Dengan demikian, civil society adalah ruang di mana warga dapat mengembangkan kepribadian dan memberi peluang bagi pemuasan kepentingannya secara bebas tanpa paksaan. Ruang gerak warga sipil adalah ruang gerak masyarakat tanpa intervensi negara. Jadi, civil society harus lebih dominan dan sanggup mengontrol negara demi keberlangsungan kebutuhan anggotanya.3(Ibid,hlm.307)
4.    Fase Keempat
4.1.  GWF. Hegel (1770-1831 M)
Menurut pandangan Hegel, civil society merupakan elemen ideologis kelas dominan. Pemahaman ini muncul karena reaksi atas pandangan Paine yang memisahkan civil society dari negara. Hegel memandang civil society sebagai kelompok subordinatif terhadap negara. Pandangan ini menurut pemikir dari Indonesia, Ryas Rasyid, erat kaitannya dengan perkembangan sosial masyarakat borjuasi Eropa (Burgerlische Gessellschaft) yang pertumbuhannya ditandai oleh perjuangan melapaskan diri dari cengkeraman dominasi negara.4(Ibid,hlm.308)
Struktur sosial civil society menurut Hegel terdapat tiga entitas sosial, yaitu keluarga (merupakan ruang sosialisasi pribadi sebagai anggota masyarakat yang bercirikan keharmonisan), masyarakat sipil (merupakan lokasi atau tempat berlangsungnya percaturan berbagai kepentingan pribadi dan golongan, terutama kepentingan ekonomi), dan negara.
4.2.  Karl Marx (1818-1883 M)
Sedangkan Karl Marx malah memandang civil society sebagai masyarakat borjuis. Dalam konteks hubungan produksi kapitalis, keberadaan civil society merupakan kendala terbesar bagi upaya pembebasan manusia dari pembebasan manusia dari penindasan kelas pemilik modal. Jadi, demi terciptanya proses pembebasan manusia, civil society harus dilenyapkan untuk mewujudkan tatanan masyarakat tanpa kelas.
4.3.  Antonio Gramsci (1891 M)
Ia tidak memandang masyarakat sipil dalam konteks relasi produksi tetapi lebih pada sisi ideologis. Jika Marx menempatkan masyarakat madani pada basis material, Gramsci meletakkannya pada superstruktur yang berdampingan dengan negara yang ia sebut sebagai political society. Menurutnya, civil society merupakan tempat perebutan posisi hegemonik di luar kekuatan negara, aparat hegemoni mengembangkan hegemoni untuk membentuk konsensus dalam masyarakat.5(Ibid,hlm.309)
Pandangan tersebut memberikan peran penting terhadap kaum cendekiawan sebagai aktor utama dalam proses perubahan sosial dan politik.
5.    Fase Kelima
Alexis de Tocqueville (Amerika, 1805-1859 M)
Menurutnya, civil society adalah sebagai kelompok penyeimbang kekuatan negara. Kekuatan politik dan masyarakat sipil merupakan kekuatan utama yang menjadikan demokrasi Amerika mempunyai daya tahan yang kuat. Pemikiran ini lebih menempatkan masyarakat sipil sebagai sesuatu yang tidak apriori maupun tersubordinasi dari lembaga negara. Sebaiknya, civil society bersifat otonom dan memiliki kapasitas politik cukup tinggi sehingga mampu menjadi kekuatan penyeimbang terhadap kecenderungan intervensi negara atas warga negara.
Karakter civil society yang seperti itu dapat pula menjadi sumber legitimasi kekuasaan negara dan pada saat bersamaan ia pun dapat menjadi kekuatan kritis untuk mengurangi frekuensi konflik dalam masyarakat sebagai akibat dari proses modernisasi.6(Ibid,hlm.310) Jadi, model civil society ini adalah model masyarakat sipil yang tidak hanya berorientasi pada kepentingan individual tetapi juga memiliki komitmen terhadap kepentingan politik. Model ini juga bertentangan dengan model Hegelian.

Dari bermacam-macam model dan pandangan tentang civil society, madzhab Gramscian dan Tocquevillian telah menjadi inspirasi gerakan prodemokrasi di Eropa Timur dan Eropa Tengah pada dasawarsa 80-an. Pengalaman kawasan ini hidup di bawah dominasi negara terbukti telah melumpuhkan kehidupan sosial masyarakat sipil.
Gagasan tentang civil society kemudian mewabah menjadi sebuah landasan ideologis untuk perjuangan kelompok demokrasi di belahan dunia yang lain untuk membebaskan masyarakat dari cengkeraman negara yang secara sistematis melemahkan daya kreativitas dan kemandirian masyarakat.
Kedua madzhab itu ternyata juga madzhab yang dikembangkan di Indonesia oleh Dawam Rahardjo dalam konsep Masyarakat Madaninya. Dawam mengilustrasikan bahwa peranan pasar sangat menentukkan unsur-unsur dalam masyarakat madani (negara dan hubungan sosial yang bersifat sukarela).

B.       Sejarah Masyarakat Madani di Indonesia
Masyarakat madani telah berkembang pesat di Indonesia yang diwakili oleh kiprah beragam organisasi sosial keagamaan dan pergerakan nasional dalam perjuangan merebut kemerdekaan. Selain berperan sebagai organisasi perjuangan penegakan HAM dan perlawanan terhadap kekuasaan kolonial, organisasi berbasis Islam (Sarekat Islam, Nahdlatul Ulama, dan Muhammadiyah) telah menunjukkan kiprahnya sebagai komponen civil society yang penting dalam sejarah perkembanganan masyarakat sipil di Indonesia. Sifat kemandirian dan kesukarelaan para pengurus dan anggota organisasi tersebut merupakan karakter khas dari sejarah masyarakat madani di Indonesia.7(Ibid,hlm.317)

BAB III
DAFTAR PUSTAKA

Azyumardi, Azra. Menuju Masyarakat Madani. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. 1999.
Hikam, Muhammad AS. Demokrasi dan Civil Society. Jakarta: LP3ES. 1999.
Kaelan. Pendidikan Pancasila Yuridis Kenegaraan. Yogyakarta: Paradigma. 1999.
Rozak, Abdul, dkk. Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani. Jakarta: ICCE  UIN Syarif Hidayatullah. 2000.

No comments:

Post a Comment