Thursday 20 October 2011

Contoh Book Review


BOOK REVIEW
TINJAUAN TENTANG SOSIOLOGI PEDESAAN[1]
Studi Perubahan Sosial
Prof. Dr. H. Mudjia Rahardjo, M.Si, Sosiologi Pedesaan, UIN Malang Press Januari 2007, Malang. ISBN: 979-24-2930-1.
Oleh: Arina Hidayati[2]
Kehidupan social bukan merupakan barang cetakan, melainkan suatu proses berkesinambungan yang selalu membaharu, berubah, dan bertumbuh kembang. Sedangkan perubahan social merupakan dinamika social yang mengakibatkan perbedaan-perbedaan dalam system kepercayaan dan sikap-sikap, pranata ekonomi dan social, serta pola pelapisan social suatu masyarakat dari satu waktu ke waktu lain. Penanda kritis dari perubahan social adalah adanya perbedaan pola budaya, struktur, dan perilaku social
antara satu waktu dengan waktu lain. Oleh karena itu, perubahan social hanya dapat kita kenali setelah membandingkan antara pola budaya, struktur, dan perilaku social yang ada pada waktu sebelumnya dengan waktu sekarang. Semakin besar perbedaan akan mencerminkan semakin luas dan mendalamnya suatu perubahan social.
Beberapa factor luar yang merupakan sumber perubahan social adalah factor alam, factor peperangan, dan faktor kebudayaan masyarakat lain. Bencana alam yang menimpa suatu masyarakat misalnya, akan memaksa masyarakat tersebut untuk pindah ke tempat lain. Di tempat tinggal yang baru, mereka harus menyesuaikan diri dengan keadaan lingkungan alam yang baru pula. Salah satu bentuk penyesuaian yang harus dilakukan adalah berkenaan dengan mata pencaharian masyarakat. Dan perubahan mata pencaharian masyarakat akan mempengaruhi pranata ekonomi dan social mereka. Beberapa kebiasaan dan adat istiadat mungkin saja hilang dan digantikan dengan yang baru. Hal tersebut juga merupakan salah satu dari perubahan social.
Buku yang ditulis Prof. Dr. H. Mudjia Rahardjo, M.Si menuangkan sebuah studi perubahan social suatu masyarakat berkenaan dengan perubahan pranata ekonomi yang disebabkan oleh mata pencaharian, melalui penelitiannya di Bandulan Kecamatan Sukun Kotamadya Dati II Malang. Penulis memiliki beberapa pertimbangan memilih lokasi tersebut sebagai situs penelitiannya. Pertama, karena secara longgar ada tiga kategori penduduk di Bandulan (penduduk asli tak menglaju[3], penduduk asli menglaju, dan penduduk pendatang menglaju). Kedua, karena tidak kurang dari 48 perusahaan beroperasi di Bandulan yang secara logis membutuhkan banyak tenaga kerja (hal 5).
Dari lokasi penelitian tersebut salah satunya terdapat sebuah hunian yang khusus ditempati oleh para pendatang yang berprofesi sebagai pegawai negeri sipil. Dari pengamatan penulis, terlihat ada jarak social yang cukup besar antara warga asli dengan warga pendatang tersebut. Sehingga tidak mengejutkan jika beberapa warga asli menilai para pendatang itu sebagai sekelompok orang yang tidak mau bermasyarakat. Penulis berpendapat bahwa jarak social ini sebagiannya disebabkan oleh aspek keruangan (spasial) yang memang terpisah antara warga asli dengan warga pendatang serta karena aspek social berupa perbedaan status social ekonomi mereka. Selain itu, dalam keseharian, para pendatang memang tempak lebih berafiliasi pada sesama pendatang dan warga asli setempat lebih berafiliasi pada sesama warga asli. Begitu juga di perumahan militer atau ABRI (hal 76).
Sedangkan untuk bidang pendidikan di Bandulan, yang berpendidikan di atas SMA kebanyakan juga dari kalangan pendatang. Ini menunjukkan bahwa aspirasi pendidikan masyarakat asli belum setinggi para pendatang. Hal tersebut lagi-lagi factor ekonomilah yang menjadi kecenderungan sebagai penyebabnya. Selain karena factor ekonomi, penulis menambahkan, hal tersebut juga disebabkan karena keterbatasan wawasan tentang pekerjaan yang mungkin ditekuni. Masyarakat kebanyakan berpikiran tentang telah tersedianya ragam lapangan pekerjaan yang secara segera bisa dipenuhi dengan tingkat pendidikan minimal, sehingga mengakibatkan masyarakat tersebut kurang menilai penting terhadap jenjang pendidikan tinggi. Menurut mereka, keberhasilan hidup bisa dititi melalui sikap kerja keras, gigih, ulet, dan berhemat dalam pengeluaran saja, bukan dengan pendidikan formal. Dari hal tersebut, terlihat juga perbedaan status social yang disebabkan karena pendidikan.
Untuk masalah agama, di Bandulan terdapat lima macam agama yang dipeluk oleh masyarakat, yaitu Islam, Kristen Katolik, Kristen Protestan, Hindu, dan Budha. Agama Islam masih mendominasi di antara agama yang lain. Dengan berbagai agama yang dipeluk di Bandulan, bukan berarti masyarakat Bandulan selalu bisa menjaga kerukunan antar umat beragama dan saling tenggang rasa. Dari pengamatan telah tercatat adanya konflik tersamar yang terjadi antara umat Islam dan Kristen Katolik sampai menimbulkan sebuah kerusuhan fisik. Sebagaimana diakui oleh warga setempat, kehidupan masyarakat Bandulan memiliki potensi konflik yang bersumber dari kecemburuan social, khususnya karena perbedaan ras, agama, dan ekonomi.
Meskipun terdapat beberapa perbedaan status social tersebut, masyarakat Bandulan masih memiliki tradisi gotong royong yang baik.
Keterbatasan Sektor Pertanian
Luas tanah sawah (pertanian) dan pekarangan di Bandulan semakin menyempit karena banyak tanah yang telah dibeli oleh para pendatang, khususnya bangsa Cina, yang kemudian dijadikan sebagai pabrik-pabrik. Karena keterbatasan sector pertanian untuk menampung angkatan kerja, banyak warga beralih mata pencaharian. Selain itu juga menyebabkan adanya perubahan yang pesat, dari pedesaan yang asri menjadi pemukiman yang cukup padat dan diselingi oleh bangunan besar bertembok tinggi tempat pabrik-pabrik berdiri. Irama hidup perkotaan pun sudah merasuk dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Bandulan (hal 80).
Industri Tidak Membumi
Bandulan memang menjadi salah satu lokasi yang dipilih untuk pendirian pabrik oleh para investor. Beberapa pertimbangannya adalah: (1) harga tanah relative murah dan pembebasannya pun relative mudah, (2) terjangkau oleh berbagai jasa komunikasi dan transportasi ke dan dari perkotaan, serta (3) ketersediaan tenaga kerja yang relative murah. Namun demikian, sangat sedikit penduduk asli Bandulan yang bekerja di pabrik-pabrik setempat. Penyebabnya adalah karena upah harian di pabrik-pabrik tersebut sangat rendah dan para pemilik serta manajemen pabrik dinilai tidak bersahabat dengan masyarakat sekitar. Jalinan yang erat dan saling menguntungkan cukup dilakukan oleh manajemen pabrik dengan para perangkat kelurahan. Akibatnya, banyak dari warga yang kerja menglaju ke daerah lain atau kota. Kebanyakan dari mereka yang menglaju itu bekerja sebagai tukang dan buruh bangunan.
Dari sedikit uraian tersebut, penulis menyimpulkan: (1) kecakapan kerja yang relative dimiliki dan factor gengsi pekerjaan di luar sector pertanian yang relative lebih tinggi merupakan unsure dari dalam diri penduduk asli Bandulan untuk bekerja dengan menglaju, (2) factor dari dalam diri itu diperkuat oleh kondisi objektif karena keterbatasan sector pertanian untuk menampung tenaga kerja yang ada, dan (3) kondisi objektif upah harian pekerja pabrik di Bandulan yang tidak sebanding dengan biaya hidup setempat. Kalau pun ada daya tarik kota, pengaruhnya tidak terlalu kuat (hal 97).
Ragam Gaya Hidup
Telaah empiris tentang gaya hidup sekelompok masyarakat dinilai cukup penting karena bersama-sama penghasilan dan kekuasaan, gaya hidup merupakan salah satu unsure pembeda antara satu lapisan social tertentu dengan yang lain. Masyarakat dibagi ke dalam lapisan-lapisan tidak hanya berdasarkan factor ekonomi saja tetapi juga hak istimewa, besarnya kehormatan yang diberikan masyarakat, dan khususnya kuasa yang dimiliki (Weber[4]).
Sebagai penghuni strata social-ekonomi baru, para penglaju terdorong untuk menyesuaikan gaya hidupnya dengan strata itu.
Ragam Pola Interaksi dan Solidaritas
Dari segi pola interaksi dan komunikasi, tampak bahwa keluarga asli penglaju memiliki frekuensi interaksi yang menurun karena kesibukan masing-masing. Komunikasi lebih egaliter, gradasi dalam berbahasa semakin berkurang pengaruhnya. Hubungan kekerabatan pun semakin diabaikan.
Pola solidaritas social di antara kategori empiris penduduk juga berbeda.
Solidaritas social para pendatang penglaju cenderung bersifat organic, transaksi social berlangsung menurut kepentingan, telekomunikasi menonjol, kehadiran dalam praktika social diwakili oleh uang atau oleh orang bayaran, tidak akan dating ke hajatan jika tidak diundang.
Pola solidaritas penduduk asli penglaju masih bersifat mekanik, transaksi social tidak selalu karena kepentingan, kehadiran diri masih dilakukan walaupun sebentar karena sudah mulai mementingkan bekerja, masih gotong royong asalkan tidak mengganggu kerja terlalu lama.
Sedagkan pola solidaritas penduduk asli tidak menglaju bersifat social mekanik. Relasi social yang intens lebih karena perasaan satu nasib. Komunikasi lisan sangat mendominasi. Kehadiran diri dalam praktika social pasti dilakukan. Mengartikan gotong royong sebagai partisipasi dalam  bentuk tenaga.
Pelapisan Sosial Baru
Kedudukan penduduk asli penglaju telah mempercepat perubahan sikap hidup yang seperlunya, sesempatnya, semampunya, dan perilaku sewajarnya, semaunya, serta seumumnya. Secara khas, sikap hidup dan perilaku tersebut tampak dalam perlibatan diri penduduk asli penglaju dalam acara kemasyarakatan. Mereka tidak berlama-lama, dengan waktu sesuai kesempatan yang dimiliki, memberikan kontribusi semampunya, dan sebagainya. Banyaknya penglaju yang ke luar Bandulan telah menyumbang pada proses percepatan transformasi masyarakat Bandulan ke dalam ekonomi uang. Dengan penghasilan yang semakin meningkat, para penglaju mampu meningkatkan status social ekonominya.
Dalam konteks itu, Prof. Dr. H. Mudjia Rahardjo, M.Si merumuskan, banyaknya penglaju yang ke luar Bandulan mengakibatkan pola mobilitas social yang khas, yaitu: (1) masuknya individu-individu penglaju yang sebelumnya menduduki derajat social eknomi rendah ke dalam derajat social ekonomi yang lebih tinggi, dan (2) turunnya derajat sekelompok individu bukan penglaju, khususnya yang bertahan di sector pertanian yang sebelumnya menduduki derajat social ekonomi relative tinggi ke dalam strata social ekonomi yang lebih rendah[5].
Sedangkan penyebab lain yang justru lebih sistemik adalah keterdesakan menyeluruh sector pertanian oleh sector perkotaan.
* * *
Tulisan Prof. Dr. H. Mudjia Rahardjo, M.Si yang dituangkan ke dalam buku Sosiologi Pedesaan tersebut merupakan sebuah hasil studi penelitian pribadinya tentang perubahan social di suatu masyarakat di sekitar tempat tinggalnya. Penelitiannya dilakukan menggunakan konsep sampling yang dianjurkan oleh Lincoln dan Guba (1985), yaitu maximum variation sampling to document unique variations. Peneliti akan menghentikan pengumpulan data apabila dari sumber data sudah tidak ditemukan lagi ragam baru. Dengan konsep ini, jumlah sumber data bukan merupakan kepedulian utama, melainkan ketuntasan perolehan informasi dengan keragaman yang ada. Data utama penelitian yang dilakukan penulis diperoleh berdasarkan interaksi dengan responden dengan latar alamiah yang wajar. Penulis menggunakan criteria kepercayaan, keteralihan, kebergantungan, dan kepastian dalam pemeriksaan keabsahan data yang diperoleh[6].
Penyebab dari perubahan social yang mencolok dibahas dalam penelitiannya adalah tentang pranata ekonomi yang bersumber dari tiga kelompok, yaitu kelompok penduduk asli penglaju, kelompok penduduk asli bukan penglaju, dan kelompok penduduk pendatang penglaju.
Menurut penulis, kelompok penduduk asli penglaju merupakan kelompok yang menciptakan sebuah perubahan social ekonomi di masyarakat. Hal tersebut dikarenakan penduduk asli penglaju mengalami perubahan gaya hidup dari hasil penyesuaian diri dengan gaya hidup di lingkungan tempat mereka bekerja. Bahkan pola interaksi mereka pun juga mengalami perubahan, yang kemudian akan memunculkan lapisan social baru dan akhirnya mengantarkan kepada perubahan pranata social dalam masyarakat.
Penulis menganggap bahwa penduduk asli penglaju mengalami peningkatan derajat secara perekonomian, sedangkan penduduk asli bukan penglaju mengalami penurunan derajat perekonomian akibat tertekannya sector pertanian yang mereka miliki. Dan hal itu pula yang mengakibatkan perubahan dalam pelapisan masyarakat.
Dalam hal kesolidaritasan di masyarakat, penulis menilai penduduk asli penglaju mengalami penurunan terhadap sikap solidaritas di masyarakat karena mereka memiliki sebuah tuntutan baru yang harus mereka kerjakan yang pada akhirnya tuntutan baru tersebut akan mengalahkan kepartisipasian mereka untuk menghadiri praktik-praktik social dalam masyarakat, seperti hajatan tetangga atau pun gotong royong yang telah menjadi adat istiadat bawaan sejarah masyarakat tempo dulu serta menjadi salah satu cirri khas dari bangsa Indonesia. Dengan begitu, menurut saya, nilai-nilai kebudayaan asli Indonesia pun akan meluntur.
Dari pendapat-pendapat penulis yang telah saya kemukakan, menurut saya, hal-hal yang menyebabkan suatu perubahan social tidak hanya ditimbulkan oleh penduduk asli penglaju saja. Perubahan social juga berasal dari dalam masyarakat itu sendiri, yaitu menyangkut dinamika kependudukan, penemuan-penemuan baru, adanya pertentangan dalam masyarakat, serta pemberontakan dalam masyarakat.
Pertentangan di masyarakat dalam hal ini telah terlihat jelas dari perbedaan agama yang dipeluk oleh masyarakat dan cara peribadatannya. Adanya komunitas –komunitas yang berbeda, misalnya ditinjau dari pengelompokan berdasarkan mata pencaharian tertentu. Yang telah terlihat adalah kompleks para pegawai negeri sipil, dan kompleks ABRI. Hal itu bisa mendatangkan suatu perubahan social bagi masyarakat asli karena adanya keinginan untuk mengikuti gaya hidup mereka yang metropolis, lebih berpola pikir secara rasional seiring kemajuan zaman yang akhirnya akan merubah nilai-nilai dan kepercayaan asli yang telah menjadi budaya.
Untuk itu, penelitian yang dilakukan penulis akan lebih baik jika ditinjau tidak hanya dari satu sebab (dalam hal ini tentang perekonomian penduduk asli penglaju), tetapi melihat dari beberapa sebab lain yang memungkinkan terjadinya perubahan social dalam masyarakat tersebut karena kehidupan social masyarakat itu bersifat heterogen.
Buku Sosiologi Pedesaan ini cocok ditujukan untuk semua pengamat social pada khususnya. Akan tetapi sasaran yang lebih tepat menurut saya adalah kepada semua orang karena bagaimana pun dalam kehidupan bermasyarakat, kita membutuhkan pengetahuan tentang social agar tercapai keselarasan, ketentraman, serta terlestarikannya budaya yang telah kita miliki.
Buku ini mengandung pengetahuan social kemasyarakatan, juga mengandung pengetahuan tentang nilai. Nilai tercipta karena adanya sebuah kebudayaan. Dan kebudayaan akan terjaga jika kita bisa hidup bersosial dengan baik.


[1] Book Review ini saya susun guna memenuhi tugas mata kuliah Pembelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial di MI yang diampu oleh Nurul Mubin, M.Si.
[2] Mahasiswi S1 FITK PGMI Universitas Sains Al Qur’an (UNSIQ) Jawa Tengah di Wonosobo angkatan 2009.
[3] Menglaju adalah migrasi kerja ke luar desa yang dilakukan oleh penduduk secara ulang-alik setiap hari. Para penglaju bekerja di luar desa tetapi bertempat tinggal di desa.
[4] Weber (Maximilian Weber, 1864-1920) adalah seorang ahli ekonomi, politik, dan sosiologi dari Jerman yang dianggap sebagai salah satu pendiri ilmu sosiologi dan administrasi negara modern. Karya utamanya berhubungan dengan rasionalisasi dalam sosiologi agama dan pemerintahan. Karyanya yang paling populer adalah esai yang berjudul The Protestant Ethic and The Spirit of Capitalism, yang mengawali penelitiannya tentang sosiologi agama. Weber berpendapat bahwa agama adalah salah satu alasan utama bagi perkembangan yang berbeda antara budaya Barat dan Timur. Tiga tema utamanya adalah efek pemikiran agama dalam kegiatan ekonomi, hubungan antara stratifikasi social dan pemikiran agama, serta pembedaan karakteristik budaya Barat. Tujuannya adalah untuk menemukan alasan-alasan mengapa budaya Barat dan Timur berkembang mengikuti jalur yang berbeda.
[5] Dalam sorotan James Scott (1985), para petani adalah sosok lemah berdunia dua. Menurutnya, dunia perilaku kaum petani boleh saja diduduki penguasa. Namun, dunia batin mereka tetap utuh menjadi milik mereka. Jadi, ketika harus berhadapan dengan kekuasaan, perlawanan mereka tidak lebih berbentuk kekerasan simbolik (symbolic violence). Inilah senjata kaum lemah (weapons of the weak).
[6] Lincoln dan Guba, 1985, hal. 289-331.

No comments:

Post a Comment