ALUR SEJARAH MASYARAKAT MADANI
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Wacana
tentang Masyarakat Madani memiliki banyak kesamaan istilah namun juga memiliki
karakter dan peran yang berbeda satu dengan yang lainnya. Ada yang menyebutkan
dengan istilah civil society, Koinonia Politike, Comonitas Civilis, Masyarakat
Sipil, Masyarakat Warga, Masyarakat Kewargaan, Masyarakat Madani, dan masih
banyak lagi yang menyebutkan dengan istilah lain.
Masyarakat
Madani menurut Anwar Ibrahim (Perdana Menteri Malaysia) merupakan padanan dari
kata civil society yang dikaitkan dengan konsep kota Illahi atau masyarakat kota yang telah tersentuh peradaban maju.1(Pendidikan Pancasila Yuridis Kenegaraan, Kaelan, Yogyakarta: Pardigma, hlm.202)Lebih lengkapnya, menurut Anwar Ibrahim, Masyarakat Madani adalah sistem sosial yang subur berdasarkan prinsip moral yang menjamin keseimbangan antara kebebasan individu dengan kestabilan masyaaarakat.
kata civil society yang dikaitkan dengan konsep kota Illahi atau masyarakat kota yang telah tersentuh peradaban maju.1(Pendidikan Pancasila Yuridis Kenegaraan, Kaelan, Yogyakarta: Pardigma, hlm.202)Lebih lengkapnya, menurut Anwar Ibrahim, Masyarakat Madani adalah sistem sosial yang subur berdasarkan prinsip moral yang menjamin keseimbangan antara kebebasan individu dengan kestabilan masyaaarakat.
Konsep
tentang Masyarakat Madani berhubungan dengan tingkah laku sosial dan politik.
Namun, sebelum membahas wacana Masyarakat Madani secara keseluruhan, kita sebaiknya
lebih dahulu mengetahui dan memahami alur sejarah munculnya istilah Masyarakat
Madani.
Alur
Sejarah Masyarakat Madani itu sendiri dibagi menjadi dua. Pertama, sejarah
kemunculannya di dunia Barat. Yang kedua, sejarah yang berada di Indonesia
sebagai salah satu negara berkembang.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana
alur sejarah munculnya Masyarakat Madani di dunia Barat yang terbagi dalam
beberapa fase?
2.
Bagaimana
alur sejarah Masyarakat Madani di Indonesia?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Sejarah Masyarakat Madani (Civil Society) di dunia Barat.
1.
Fase
Pertama
1.1.
Aristoteles
(Yunani, 384-322 SM)
Menurutnya, Civil Society berkedudukan sebagai sistem
kenegaraan atau identik dengan negara itu sendiri. Hal tersebut diistilahkan
dengan Koinonia Politike, yaitu sebuah komunitas politik tempat warga
dapat terlibat langsung dalam berbagai percaturan ekonomi-politik dan
pengambilan keputusan.2(Abdul
Rozak, dkk, Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani,2000,hlm.306)
Istilah itu digunakan untuk menggambarkan sebuah masyarakat politis dan etis
dimana warga negara di dalamnya berkedudukan sama di depan hukum. Hukum sendiri
dianggap etos, yaitu seperangkat nilai yang disepakati tidak hanya
berkaitan dengan prosedur politik, tetapi juga sebagai substansi dasar
kebijakan dari berbagai bentuk interaksi di antara warga negara.
1.2.
Marcus
Tullius Cicero (106-43 SM)
Marcus Tullius Cicero menamakan Masyarakat Madani dengan Societies
Civilies, yaitu sebuah komunitas yang mendominasi komunitas yang lain.
Istilah tersebut lebih menekankan pada konsep negara kota (city-state), yakni
menggambarkan kerajaan, kota, dan bentuk korporasi lainnya sebagai kesatuan
yang terorganisasi. Kota dalam pengertian itu bukan hanya sekedar sebuah
konsentrasi penduduk tetapi sebagai pusat kebudayaan dan pusat pemerintahan.
1.3.
Thomas
Hobbes (1588-1679 M)
Menurut Hobbes, sebagai entitas negara, civil society mempunyai
peran untuk meredam konflik dalam masyarakat sehingga ia harus memiliki
kekuasaan mutlak yang nantinya akan mampu mengontrol dan mengawasi secara ketat
pola-pola interaksi (perilaku politik) setiap warga negara.
1.4.
John
Locke (1632-1704 M)
Menurutnya, kehadiran civil society adalah untuk melindungi
kebebasan dan hak milik setiap warga negara. Mengingat sifatnya yang demikian
itu, civil society tidak absolut dan harus membatasi perannya pada
wilayah yang tidak bisa dikelola masyarakat dan memberikan ruang yang manusiawi
bagi warga negara untuk memperoleh haknya secara adil dan proporsional.
2.
Fase
Kedua
Adam Ferguson (Skotlandia, 1767)
Ferguson mengembangkan wacana civil society dengan konteks
sosial dan politik di negaranya. Ferguson lebih menekankan visi etis pada civil
society dalam kehidupan sosial. Menurutnya, ketimpangan sosial akibat
kapitalisme harus dihilangkan. Ia yakin bahwa publik secara alamiah memiliki
semangat solidaritas sosial dan sentimen moral yang dapat menghalangi munculnya
kembali despotisme.
3.
Fase
Ketiga
Thomas Paine (1792)
Ia mulai memaknai civil society sebagai sesuatu yang
berlawanan dengan lembaga negara. Peran negara sudah saatnya dibatasi. Menurut
pandangan ini, negara tidak lain hanyalah keniscayaan buruk belaka. Konsep
negara yang absah adalah perwujudan dari delegasi kekuasaan yang diberikan oleh
masyarakat demi terciptanya kesejahteraan bersama. Semakin sempurna suatu
masyarakat sipil, maka semakin besar pula peluangnya untuk mengatur kehidupan
warganya sendiri.
Menurutnya, terdapat batas-batas wilayah otonom masyarakat sehingga
negara tidak diperkenankan memasuki wilayah sipil. Dengan demikian, civil
society adalah ruang di mana warga dapat mengembangkan kepribadian dan
memberi peluang bagi pemuasan kepentingannya secara bebas tanpa paksaan. Ruang
gerak warga sipil adalah ruang gerak masyarakat tanpa intervensi negara. Jadi,
civil society harus lebih dominan dan sanggup mengontrol negara demi
keberlangsungan kebutuhan anggotanya.3(Ibid,hlm.307)
4.
Fase
Keempat
4.1.
GWF.
Hegel (1770-1831 M)
Menurut pandangan Hegel, civil society merupakan elemen
ideologis kelas dominan. Pemahaman ini muncul karena reaksi atas pandangan
Paine yang memisahkan civil society dari negara. Hegel memandang civil
society sebagai kelompok subordinatif terhadap negara. Pandangan ini
menurut pemikir dari Indonesia, Ryas Rasyid, erat kaitannya dengan perkembangan
sosial masyarakat borjuasi Eropa (Burgerlische Gessellschaft) yang
pertumbuhannya ditandai oleh perjuangan melapaskan diri dari cengkeraman
dominasi negara.4(Ibid,hlm.308)
Struktur sosial civil society menurut Hegel terdapat tiga
entitas sosial, yaitu keluarga (merupakan ruang sosialisasi pribadi sebagai
anggota masyarakat yang bercirikan keharmonisan), masyarakat sipil (merupakan
lokasi atau tempat berlangsungnya percaturan berbagai kepentingan pribadi dan
golongan, terutama kepentingan ekonomi), dan negara.
4.2.
Karl
Marx (1818-1883 M)
Sedangkan Karl Marx malah memandang civil society sebagai
masyarakat borjuis. Dalam konteks hubungan produksi kapitalis, keberadaan civil
society merupakan kendala terbesar bagi upaya pembebasan manusia dari
pembebasan manusia dari penindasan kelas pemilik modal. Jadi, demi terciptanya
proses pembebasan manusia, civil society harus dilenyapkan untuk
mewujudkan tatanan masyarakat tanpa kelas.
4.3.
Antonio
Gramsci (1891 M)
Ia tidak memandang masyarakat sipil dalam konteks relasi produksi
tetapi lebih pada sisi ideologis. Jika Marx menempatkan masyarakat madani pada
basis material, Gramsci meletakkannya pada superstruktur yang berdampingan
dengan negara yang ia sebut sebagai political society. Menurutnya, civil
society merupakan tempat perebutan posisi hegemonik di luar kekuatan
negara, aparat hegemoni mengembangkan hegemoni untuk membentuk konsensus dalam
masyarakat.5(Ibid,hlm.309)
Pandangan tersebut memberikan peran penting terhadap kaum
cendekiawan sebagai aktor utama dalam proses perubahan sosial dan politik.
5.
Fase
Kelima
Alexis de Tocqueville (Amerika, 1805-1859 M)
Menurutnya, civil society adalah sebagai kelompok
penyeimbang kekuatan negara. Kekuatan politik dan masyarakat sipil merupakan
kekuatan utama yang menjadikan demokrasi Amerika mempunyai daya tahan yang
kuat. Pemikiran ini lebih menempatkan masyarakat sipil sebagai sesuatu yang
tidak apriori maupun tersubordinasi dari lembaga negara. Sebaiknya, civil
society bersifat otonom dan memiliki kapasitas politik cukup tinggi
sehingga mampu menjadi kekuatan penyeimbang terhadap kecenderungan intervensi
negara atas warga negara.
Karakter civil society yang seperti itu dapat pula menjadi
sumber legitimasi kekuasaan negara dan pada saat bersamaan ia pun dapat menjadi
kekuatan kritis untuk mengurangi frekuensi konflik dalam masyarakat sebagai
akibat dari proses modernisasi.6(Ibid,hlm.310) Jadi, model civil
society ini adalah model masyarakat sipil yang tidak hanya berorientasi
pada kepentingan individual tetapi juga memiliki komitmen terhadap kepentingan
politik. Model ini juga bertentangan dengan model Hegelian.
Dari
bermacam-macam model dan pandangan tentang civil society, madzhab
Gramscian dan Tocquevillian telah menjadi inspirasi gerakan prodemokrasi di
Eropa Timur dan Eropa Tengah pada dasawarsa 80-an. Pengalaman kawasan ini hidup
di bawah dominasi negara terbukti telah melumpuhkan kehidupan sosial masyarakat
sipil.
Gagasan
tentang civil society kemudian mewabah menjadi sebuah landasan ideologis
untuk perjuangan kelompok demokrasi di belahan dunia yang lain untuk
membebaskan masyarakat dari cengkeraman negara yang secara sistematis
melemahkan daya kreativitas dan kemandirian masyarakat.
Kedua
madzhab itu ternyata juga madzhab yang dikembangkan di Indonesia oleh Dawam
Rahardjo dalam konsep Masyarakat Madaninya. Dawam mengilustrasikan bahwa
peranan pasar sangat menentukkan unsur-unsur dalam masyarakat madani (negara
dan hubungan sosial yang bersifat sukarela).
B.
Sejarah Masyarakat Madani di Indonesia
Masyarakat madani telah berkembang pesat di Indonesia yang diwakili
oleh kiprah beragam organisasi sosial keagamaan dan pergerakan nasional dalam
perjuangan merebut kemerdekaan. Selain berperan sebagai organisasi perjuangan
penegakan HAM dan perlawanan terhadap kekuasaan kolonial, organisasi berbasis
Islam (Sarekat Islam, Nahdlatul Ulama, dan Muhammadiyah) telah menunjukkan
kiprahnya sebagai komponen civil society yang penting dalam sejarah
perkembangan masyarakat sipil di Indonesia. Sifat kemandirian dan kesukarelaan
para pengurus dan anggota organisasi tersebut merupakan karakter khas dari
sejarah masyarakat madani di Indonesia.7(Ibid,hlm.317)
BAB III
DAFTAR PUSTAKA
Azyumardi,
Azra. Menuju Masyarakat Madani. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. 1999.
Hikam,
Muhammad AS. Demokrasi dan Civil Society. Jakarta: LP3ES. 1999.
Kaelan.
Pendidikan Pancasila Yuridis Kenegaraan. Yogyakarta: Paradigma. 1999.
Rozak, Abdul, dkk. Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat
Madani. Jakarta: ICCE UIN Syarif
Hidayatullah. 2000.
No comments:
Post a Comment